| YOGYAKARTA
| Saksi
korban wartawan media online yang menjabat Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha
Komputer Indonesia (APKOMINDO) Ir Soegiharto Santoso alias Hoky menanggapi
serius atas putusan sela yang ditetapkan majelis hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta terkait perkara penghinaan dan pencemaran nama baik dengan terdakwa
Ir. Michael Santosa Sunggiardi.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Lilik
Nurani SH bersama hakim anggota Asep Permana SH. MH dan Nasrulloh SH menyatakan
Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta tidak berwenang mengadili terdakwa Michael,
warga Jalan Pajajaran Bogor Jawa Barat, atas kasus turut serta menghina dan
melakukan pencemaran nama baik terhadap Ir Soegiharto Santoso alias Hoky
melalui akun media sosial Facebook.
Hoky yang juga menjabat Wakil Pemimpjn
Redaksi Media Info Breaking News, menilai putusan tersebut adalah keliru dan
tidak berlandaskan hukum. “Bahkan dapat dikatakan putusan tersebut aneh tapi
nyata,” tandas Hoky kepada wartawan melalui siaran pers yang diterima redaksi,
Rabu (06/05/20) di Jakarta.
Sebab, menurut Hoky, perkara yang sama
dengan terdakwa Ir. Faaz Ismail telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri
Yogyakarta dengan hukuman pidana penjara selama 3 bulan, dan putusan itu telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan perkara nomor:
7/PID.SUS/2020/PT YYK, dan kasus tersebut masuk dalam satu berkas laporan
polisi nomor: LP/362/VII/2017/DIY/SPKT tertanggal 20 Juli 2017 di Polda DIY
bersama terdakwa Ir. Michael Santosa Sunggiardi.
Lebih lanjut Hoky menambahkan, berdasarkan
yurisprudensi kasus serupa, Pengadilan Negeri Yogyakarta pernah menyidangkan
dan memutus kasus penyebar berita hoax yang mencatut nama Gubernur DIY Sri
Sultan HB X, yaitu terdakwa Rosyid Nur Rohum SIP warga Oku Timur Sumatera
Selatan yang divonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan
kurungan. “Faktanya kan sudah ada dua
kasus serupa yang telah divonis bersalah PN Yogyakarta, jadi putusan sela atas
laporan saya oleh majelis hakim adalah aneh tapi nyata,”ungkap Hoky.
Menanggapi putusan sela tersebut, Jaksa
Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta P.F.N.A.
Noenoehitoe SH mengatakan, pada prinsipnya pihaknya tidak sependapat dengan
pertimbangan hukum yang diambil majelis hakim sehingga mengambil upaya hukum perlawanan
ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada hari Senin, 04 Mei 2020. “Semoga upaya
hukum kami tersebut dikabulkan (majelis hakim),” ujar JPU.
Disebutkan juga, locus delicti atau
tempat kejadian perkara ITE mengacu pada teori akibat (de leer van het gevolg)
yang menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul ketika terjadi suatu delik.
Dalam perkara penghinaan terhadap Hoky, para terdakwa telah melakukan perbuatan
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dan membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan maupun pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal
27 ayat (3) UU ITE. Perbuatan terdakwa tersebut diketahui oleh saksi korban
pada Jumat tanggal 24 Maret 2017 di Hotel Gallery Prawirotaman di Jalan
Prawirotaman 2 Nomor 839B Yogyakarta.
Sementara itu, Ketua Bidang Hukum DPP
APKOMINDO Vincent Suriadinata SH MH mengatakan, mengacu dari 2 perkara yang
sudah diputus oleh PN Yogykarta baik terdakwa Ir Faaz Ismail maupun Rosyid Nur
Rohum SIP, menunjukkan bahwa dalam perkara ITE diterapkan teori akibat
perbuatannya adalah dilihat di mana perbuatan itu dilakukan, bukan saat
melakukannya di mana. Sehingga putusan sela atas nama terdakwa Ir. Michael
Santosa Sunggiardi adalah keliru dan tidak berlandaskan hukum,” urai Vincent.
Melalui press releasenya, Hoky mengaku
melakukan perlawanan terhadap para terdakwa karena merasa dikriminalisasi
selama berkali-kali. Fakta hukumnya Hoky sempat dikriminalisasi melalui laporan
polisi sebanyak 5 kali, antara lain di Polres Jakarta Pusat, Bareskrim Polri,
serta di Polres Bantul. Selain itu, menurut Hoky, hingga saat ini sudah ada 18
perkara di pengadilan, baik perkara perdata maupun perkara pidana yang
berkaitan dengan organisasi APKOMINDO dan sudah berposes selama 7 tahun
lamanya.
Puncaknya, Hoky menuturkan, dirinya
pernah ditahan secara sewenang-wenang selama 43 hari di Rutan Bantul atas
rekayasa hukum pihak kelompok para terdakwa, namun telah divonis tidak bersalah
oleh PN Bantul dan kasasi JPU telah ditolak oleh MA dengan Perkara No: 144
K/PID.SUS/2018.
Hoky juga merasa tidak diperlakukan
secara adil oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
menyidangkan perkara No: 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL, sehingga pihaknya terpaksa
melayangkan pengaduan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, dan ke Komisi
Yudisial RI serta ke Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Hoky menambahkan, dirinya melayangkan
laporan dan aduan tersebut agar dugaan ketidakadilan, keberpihakan dan
ketidakpedulian serta ketidakdisiplinan para Terlapor yakni Majelis Hakim di PN
Jaksel dapat diusut. “Saya pribadi tetap percaya dan menjunjung tinggi
institusi Pengadilan akan bekerja secara profesional, berintegritas tinggi,
transparan dan tidak memihak untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan
kemanfaatan dalam proses penegakan hukum di Republik Indonesia,” imbuhnya.
Hoky juga memberi apresiasi terhadap
pihak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang telah mengundangnya untuk mendengarkan
keterangan secara langsung terkait aduannya pada hari Kamis, tanggal 30 April
2020.
Penulis: Hence MG