| Ketua
Dewan Pers Indonesia dan Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia, Heintje G. Mandagie | |
Sampai hari ini belum ada upaya berlevel
extraordinary atau luar biasa dari pihak manapun dalam menghentikan kekerasan
terhadap wartawan di Indonesia. Tak heran jika aksi kekerasan terhadap wartawan
masih saja terjadi sampai hari ini.
Tengok saja aksi kekerasan terhadap
sejumlah wartawan saat meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah
baru-baru ini. Semua pihak mengecam aksi kekerasan tersebut namun tetap saja
penyelesaian kasus ini hanya berujung permintaan maaf.
Gerakan perjuangan kemerdekaan pers yang
nyaris berada pada level extraordinary sesungguhnya pernah dimulai pada tahun
2018 lewat gugatan terhadap Dewan Pers
oleh dua pimpinan organisasi pers, kemudian berlanjut lewat aksi damai di
Gedung Dewan Pers dan di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu
bermuara pada pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018, dan berakhir
pada Kongres Pers Indonesia 2019. Dari pergerakan inilah lahir Dewan Pers
Indonesia atau DPI.
Gerakan ini nyaris berada pada level
extraordinary. Namun sayangnya sudah mencapai tittik antiklimaks ketika
dentuman kemeriahan sorak-sorai ribuan wartawan dari berbagai penjuru tanah air
itu kini mulai surut dan nyaris tak berbekas.
Dewan Pers Indonesia sebagai lembaga
perjuangan kemerdekaan pers harus memikul tanggung-jawab besar atas asa yang
dititip lewat keringat dan lembaran rupiah dari sekian ribu wartawan Indonesia
yang terlecut hati nuraninya menyerbu ibukota negara demi sebuah cita-cita
yakni merdeka dari kriminalisasi dan diskriminasi Dewan Pers.
Struktur kepengurusan DPI hasil Kongres
Pers Indonesia 2019 sudah resmi diserahkan ke Presiden RI Joko Widodo melalui
surat DPI nomor : 02/DPI/IV/2019 tanggal 16 April 2019 namun hingga kini belum
juga memperoleh jawaban dari presiden.
Menyadari kondisi ini Perlu diketahui
bahwa legalitas DPI menggunakan Statuta dan bukan Anggaran Dasar atau Angaran
Rumah Tangga. Penggunaan Statuta DPI ditetapkan karena DPI bukanlah organisasi
perkumpulan melainkan lembaga independen yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Disetujui atau tidak oleh
Presiden, itu menjadi urusan presiden. Sejarah Pers Indonesia yang akan
mencatat itu. DPI harus tetap jalan sesuai
amanah yang diberikan oleh ribuan wartawan dan pimpinan media.
Dua peraturan pers saat Kongres Pers
Indonesia 2019 yang lahir dari embrio Mubes Pers Indonesia 2018 sesungguhnya
merupakan goresan sejarah baru bagi kehidupan pers Indonesia. Peraturan tentang
verifikasi dan sertifikasi perusahaan pers, serta Peraturan tentang Sertifikasi
Kompetensi Wartawan adalah wujud perlawanan Pers Indonesia atas peraturan Dewan
Pers yang selama ini membelenggu kemerdekaan pers. Lewat kedua peraturan itu,
peran Organisasi Pers dikembalikan pada tatanannya sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. DPI
hanya berfungsi sebagai fasilitator bukan regulator.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
atas gugatan terhadap Dewan Pers makin menguatkan peraturan pers yang
ditetapkan oleh Kongres Pers. Dalam putusan itu PT membatalkan keputusan
Pengadilan Negeri yang menyatakan peraturan DP adalah bagian dari
perundang-undangan. Dengan begitu peraturan pers adalah domain organisasi pers
bukan DP atau DPI sekalipun.
Sehingga program sertifikasi media kini
menjadi domain Organisasi Pers dan bukan lagi Dewan Pers. Organisasi Pers kini
membantu DPI melaksanakan fungsi pendataan media lewat sertifikasi perusahaan
pers. Program ini terbuka lebar bagi
media yang selama ini dianggap abal-abal atau belum terverifikasi Dewan Pers.
Upaya ini memang masih menimbulkan pro
dan kontra. Tetapi pada kenyataannya respon positif pimpinan media atau
perusahaan pers kini mulai berdatangan dari berbagai penjuru tanah air. Tim
sertifikasi media Serikat Pers Republik Indonesia mulai kebanjiran pendaftaran
media dari berbagai daerah.
Target DPI dalam program ini adalah
memfasilitasi 43.000 media yang sering dihina Dewan Pers dengan sebutan
abal-abal untuk diikut sertakan dalam program Pembentukan Jaringan Media
Nasional Dewan Pers Indonesia.
Pembentukan jaringan media se Indonesia
ini bertujuan untuk membangun kekuatan baru dalam rangka merebut belanja iklan
nasional.
Sebagai catatan, ratusan perusahaan
besar di Indonesia mengeluarkan biaya lebih dari 100 triliun rupiah setiap
tahun untuk kebutuhan belanja iklan.
Sangat disayangkan belanja iklan sebesar
itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki perusahaan pers atau
media berskala nasional.
Tercatat pemilik media berskala nasional
peraih belanja iklan triliunan rupiah yaitu : Hary Tanoesudibjo (MNC Group:
RCTI, Golbal TV, MNC TV, iNews TV, dan media lainnya), Surya Paloh (Metro TV
dan Media Indonesia), Chairul Tanjung (CT Corp: Trans TV, Trans 7, Detik
News), Aburizal Bakri (AN TV, TV One,
dan Viva News), Eddy Kusnadi Sariatdmadja (SCTV, Indosiar, O Chanel), dan Jacob
Oetama (Kompas Gramedia : Kompas TV, KTV, Koran KOMPAS).
Pada tahun 2017 lalu, belanja iklan
nasional mencapai 145 triliun berdasarkan hasil temuan Nielsen Ad Intel. Dari
angka 145 triliun itu, didominasi oleh iklan TV mencapai 80 persen. Artinya 20
persen atau sekitar 29 triliun sisanya diperebutkan oleh media lain di luar
itu. Media lokal bahkan nyaris tidak kebagian belanja iklan nasional tersebut.
Ironisnya, pendapatan media-media
nasional mencapai triliunan rupiah namun gaji wartawannya masih jauh di bawah
standar gaji bagi jurnalis.
Bedasarkan laporan www.averagesalarysurvey.com pada tahun 2017
lalu tercatat jurnalis di Jakarta menghasilkan gaji hanya sebesar rata-rata US
$ 5.329 per tahun atau gross salary Rp.61,666.666 per tahun dan average net
salary Rp 54.000.000 per tahun.
The
Jakarta Pos
menulis pada tahun 2014 lalu, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI mencatat
gaji minimum wartawan di Indonesia tidak boleh kurang dari Rp7.5 juta per bulan
atau US $ 572 per bulan.
Namun fakta yang sesungguhnya terjadi,
berdasarkan riset DPP SPRI, hingga kini masih banyak media nasional yang
memberi gaji kepada wartawan pemula jauh dari angka yang disebutkan tersebut
yakni hanya di kisaran 2 juta hingga 3 juta rupiah. Bahkan SPRI mencatat ada
media yang memberi upah kepada wartawan yang bertugas di daerah menggunakan
system pembayaran berdasarkan jumlah berita yang ditayang. Lebih parah lagi,
SPRI menemukan, sebagian besar media lokal berbasis internet atau online tidak
memberikan gaji atau intensif kepada wartawan.
Kondisi ini sungguh sangat
memprihatinkan. Ketika belanja iklan mencapai angka rata-rata di atas 100
tliliun per tahun, ternyata nasib wartawan Indonesia masih jauh dari kata
sejahtera. Akibatnya ada banyak wartawan justeru memilih nyambi fee proyek
pemerintah atau “menjual” idealismenya dengan menerima imbalan dari nara
sumber. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan.
Selama bertahun-tahun lamanya Dewan Pers
hanya diam membisu melihat kenyataan ini. Tidak mungkin Dewan Pers tidak tahu
atau paham atas kondisi ini. Padahal salah satu fungsi Dewan Pers yang diatur
dalam UU Pers adalah melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
Lantas, apakah Dewan Pers memperjuangkan
kehidupan pers dan kemerdekaan pers setelah selama 20 tahun diberi fasilitas
anggaran miliaran rupiah tiap tahun?
Kemerdekaan pers sangat identik dengan
independensi media. Namun, bagaimana mungkin media bisa independen jika pada
kenyataannya wartawan tidak digaji dengan layak.
Lebih jelas lagi, pada pasal 10 UU Pers
disebutkan perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan
karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih
serta bentuk kesejahteraan lainnya. Namun selama ini belum nampak Dewan Pers
memperjuangkan hal itu untuk peningkatan kualitas pers Indonesia.
Gaji wartawan Indonesia di Asia Tenggara
saja tercatat adalah paling rendah. Berdasarkan laporan Merdeka.com, dibandingkan dengan 11 negara di Asia Tenggara, gaji
wartawan Indonesia berada pada level paling rendah.
Apa solusi dari segala carut-marut
permasalahan ini? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan mengusik bisnis
utama para konglomerat pemilik media yang selama 20 tahun ini menikmati dan
memonopoli perolehan belanja iklan nasional.
Dewan Pers seolah menjadi kaki-tangan
para konglomerat media yang tidak mau bisnisnya terganggu oleh munculnya ratusan
Televisi Lokal, media cetak, dan ribuan media Online yang berhak atas jatah
‘kue’ belanja iklan nasional pasca UU Pers diberlakukan.
Menyikapi kondisi ini, DPI akan
mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar membuat satu regulasi
terkait belanja iklan nasional agar dapat juga disalurkan ke daerah sehingga
tidak lagi terpusat di Jakarta dan hanya dinikmati oleh media nasional.
Sebab, pada kenyataannya masyarakat
lokal lah yang berbelanja semua produk yang diiklankan di media nasional, namun
seluruh belanja iklan nasional yang mencapai lebih dari Rp100 triliun rupiah
per tahun hanya dinikmati perusahan pers di Jakarta.
Akibatnya, ribuan media lokal terpaksa
harus ‘mengemis’ iklan atau kerja sama dengan pemerintah daerah karena tidak
kebagian ‘kue’ belanja iklan nasional. Dampak buruknya adalah pers dengan
sangat terpaksa harus ‘menjual’ idealismenya dengan menawarkan kontrak kerja
sama pemerintah daerah demi menyambung hidup orperasional perusahaan medianya.
Dewan Pers bukannya mencari solusi malah
menghina media yang belum terverifikasi dengan sebutan abal-abal. Media yang
belum terverifikasi ditutup akses ekonominya dengan membuat edaran ke seluruh
instansi pemerintah agar tidak melakukan kerja sama dengan media yang belum
terverifikasi Dewan Pers. Celakanya, Dewan Pers mengklaim ada 43 ribu media
yang belum terverifikasi. Jadi puluhan ribu media itu terancam akses ekonominya
akibat ulah DP tersebut. Padahal ribuan media lokal ini sesungguhnya adalah
Usaha Kecil Menengah atau UKM di bidang pers yang berhak mendapat perhatian
pemerintah. Karena UKM Media ini sudah memberi kontribusi mengurangi angka
pengangguran yang cukup besar. Namun sangat disayangkan justeru dihina dan
dilecehkan oleh Dewan Pers dengan sebutan abal-abal.
Dewan Pers sepertinya sengaja melepas
tangung-jawab dengan menggeneralisir ribuan media itu didirkan dengan tujuan
untuk memeras. Padahal kasus pemerasan justeru lebih berpotensi dilakukan oleh
media-media mainstream yang memiliki kekuatan menciptakan opini publik yang
sangat ditakuti oleh pejabat atau pengusaha hitam.
Sebagai penutup, program sertifikasi
media yang saat ini sedang dilaksanakan DPI melalui organisasi-organisasi pers
akan menjadi senjata pamungkas untuk usaha merebut belanja iklan nasional. Jika
DPI berhasil mendata ribuan media lokal menjadi bagian dari Jaringan Media
Nasional DPI, maka kekuatan jaringan media ini yang akan disodorkan ke
pemerintah maupun agen periklanan untuk mendapatkan jatah ‘kue’ belanja iklan
nasional.
Media-media yang lebih dahulu terdata di
DPI nantinya berhak mendapatkan fasilitas jatah belanja iklan nasional yang
sedang diperjuangkan oleh DPI. Bentuk kerja sama dengan berbagai lembaga di
tingkat pusat juga terbuka lebar jika jaringan media ini bisa terwujud.
Dengan langkah ini maka ke depan nanti
media-media lokal bisa lebih mandiri dan independen. Dan tentunya kesejahteraan
wartawan bisa ditingkatkan jika media tempat dia bekerja memperoleh peluang
untuk mendapatkan kesempatan jatah belanja iklan nasional. Jika saja setiap
provinsi kebagian jatah belanja iklan minimal Rp1 triliun rupiah, maka
kesejahteraan wartawan terjamin dan independensi media makin kuat. Pada
gilirannya kemerdekaan pers bisa ditegakan dan rakyat makin sejahtera karena
pemerintahan diawasi ketat oleh pers yang independen. Jangan ada lagi wartawan
atau media 'mengemis' iklan dan kerja sama dengan pemerintah karena wartawan
bukanlah (*maaf) 'pengemis sakti' yang harus ditakuti.
So, pilihan kembali berada di tangan
pemilik media. Apakah mau tetap 'mengemis' iklan dari pemerintah dan pasrah
dihina dengan sebutan abal-abal, atau mau bersatu melawan tirani kekuasaan
Dewan Pers?
Dan kepada para pimpinan Organisasi
Pers, akankah terus diam dan pasrah atas ulah Dewan Pers dan kroni-kroninya
yang masih terus mendiskriminasi wartawan dan media di luar konstiuennya?
Dengan berdiam diri maka kita berpotensi membiarkan 'kemiskinan' melanda pers
Indonesia dan pada gilirannya pejabat, pengusaha hitam, dan konglomerat media
akan menari-menari di atas penderitaan rakyat karena tidak ada lagi media yang berani
atau mampu mengawasinya.(**)
Penulis
: Heintje G. Mandagie,
Ketua
Dewan Pers Indonesia dan Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia