|
BIMA – NTB | Sekadar
analisa sebagai kerangka evaluasi. Dari penyelenggaraan kegiatan penyampaian Visi
- Misi lima orang calon kepala desa Campa ini adalah sebagai salah satu
rangkaian rute Pilkades serentak tanggal 16 Desember 2019 untuk 82 desa dari
191 desa di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Ada beberapa poin dari ketentuan umum aturan yang
menurut saya perlu ditinjau kembali dalam mengembalikan hakikat demokrasi di Indonesia—yaitu;
Pertama; Aturan yang tidak memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menguji keilmiahan dan keobyektifan program
yang tertuang dalam visi - misi calon kepala desa dan bentuk diskusi serta perdebatan.
Kenapa ini dirasa perlu? Menurut saya, visi
dan misi ini merupakan panduan dasar dalam penyusunan APB Des dan RPJMD yang akan
dilaksanakan selama periode kepemimpinan, sehingga pengujian visi dan misi tersebut
menjadi sarana yang urgen bagi masyarakat sebagai sasaran utama program kesejahteraan
pada masing-masing calon—dalam hal ini apakan visi dan misi yang dipaparkan itu
sesuai kebutuhan pokok masyarakat desa.
Kedua; Penyampaian visi dan misi
harus ditargetkan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat desa agar
menganalisa calon mana untuk dipilih sesuai program yang ditawarkan, dan bukan
memilih dengan landasan keluarga, kerabat, serta saudara lebih-lebih memilih money politik.
Jargon pemilu damai, pemilu bersih, pemilu
jujur dan transparan yang selalu dikampanyekan dalam bentuk slogan-slogan oleh
lembaga penyelenggara Pemilu—baik itu KPUD, Bawaslu serta kententuan dari UU Pemilu,
slogan dan ketentuan undang-undang berbanding terbalik dengan situasi obyektif
masyarakat yang dogmatis terhadap pemahaman pemilihan umum.
Indikator masalah yang menjadi budaya di
masyarakat disebabkan tidak terserapnya pemahaman masyarakat dengan aturan
perundang-undangan di negeri ini. Lembaga penyelenggara Pemilu merupakan
lembaga yang paling bertanggungjawab atas terputusnya edukasi politik dalam
masyarakat yang mengakibtkan ketidak pahamnya masyarakat akan aturan pemilu yang
belaku. Lembaga penyelanggara pemilu harus bekerja secara profesional terhadap
tugas dan tanggungjawabnya sebagai lembaga yang menentukan maju dan mundurnya
kesadaran masyarakat soal pemilihan umum.
Lembaga penyelenggara pemilu harus lebih
intensif dalam mengadakan kegiatan seminar, diskusi publik serta sosialisasi
aturan Pemilu kepada lapisan masyarakat akar rumput agar terwujudnya cita-cita
luhur demokrasi politik di Indonesia.
Dua point di atas menjadi gambaran akan
degradasinya demokrasi di Indonesia yang kurang memiliki nilai-nilai edukasi
dan pendewasaan pemahaman pada masyarakat, dan lebih cenderung pada penciptaan
situasi yang intoleran, memperuncing sentime horisontal antar masyarakat, serta
memperdalam jurang pemisa hubungan kemanusiaan antara masyarakat awam.
Penulis: DHILON SITORUS
| Aktivis kelahiran Desa Campa Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima-NTB |